RANTAU KUANTAN SINGINGI

RANTAU YANG DIPERTUAN GADIS (SINGINGI)

Pada Masa Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, pada abad ke 15 masehi melanjutkan Kerajaan Malayupura pada abad ke 14 Masehi. Daerah Singingi adalah bagian dari Konfederasi Negara-Negara Vasal Kerajaan Pagaruyung dikawasan Pantai Timur Sumatera tengah. Menurut Hikayat adat dari para tetua Adat di Rantau Kampar Kiri, asal mula penamaan singingi sebagi Rantau Yang dipertuan gadis atau rantau Ibu adalah hikayat Putri Ratna Jamilah.

menurut Hikayat adat Rantau Kampar Kiri adalah anak perempuan dari Sultan Sembahyang  Raja Pagaruyung, Putri ini adalah saudari dari Datuk Bujang Sati Raja Mangiang. Dalam Hikayat Adat disebutkan bahwa setelah Adiknya Raja Mangiang di jemput oleh Ninik Mamak Kampar kiri dan dijadikan raja muda di Kampar kiri, maka sang putri ini kemudian juga ingin mengikuti sang adik ke Kampar kiri keinginan ini awalnya di tentang oleh pihak istana Pagaruyung.
Akan tetapi karena yang dipertuan sembahyang  kemudian mengizinkan yang dipertuan Gadi Putri Ratna Jamilah untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Kesempatan ini kemudian dipergunakan oleh yang Dipertuan Gadi, setelah menunaikan ibadah haji setelah kembali ke Sumatera beliau memilih menetap di Muara Lembu (tanah Kojaan/Tanah Kerajaan) di Luwak Singingi Kampar Kiri. Putri Ratna Jamilah memutuskan untuk tidak kembali ke Pagaruyung, keputusan beliau untuk menetap di Kampar kiri kemudian dalam hikayatnya keturunan beliau ini diangkat mejadi penguasa Luwak Singingi Kampar kiri. Sehingga dalam otok Cacae ( dalam tatanan) adat di Kampar kiri Luwak Singingi ini disebut kemudian menjadi “Rantau Ibu” atau Rantau yang dipertuan Gadis.
Setelah semakin berkembangnya keberadaan penduduk dan wilayah di kawasan Rantau Singingi, dengan datangnya para pendatang dari Pagaruyung (Darat) dan dari tanah semenajung Malaysia (Pesisir), sehigga berdiri banyak negeri-negeri dan koto-koto disepanjang aliran sungai singingi yang bermuara di Sungai Kampar Kiri.
Dalam catatan sejarah tertulis, pada Januari tahun 1905 M akhirnya Belanda pun memasuki kawasan Rantau Singingi, yang mana sebelumnya pihak Belanda terlebih dahulu telah menguasai wilayah Gunung Sahilan dan merekapun beranggapan bahwasanya Rantau Singingi tersebut termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Gunung Sahilan. Kedatangan Belanda ke Rantau Singingi tentu tidak dengan serta merta, hal ini berawal dari berita yang dibawa oleh orang-orang yang telah menelusuri dan menjelajahi sungai Singingi dan sungai Subayang hingga ke Gunung Sahilan, bahwa dikawasan Rantau Singingi tersebut terdapat kandungan emas dan batu bara yang berlimpah sehingga membuat Belanda sangat tertarik dan berkeinginan untuk menguasai wilayah tersebut. Setelah berhasil memasuki wilayah Rantau Singingi kemudian Belanda melakukan penelitian terhadap kandungan emas dan batu RANTAUyang ada di Rantau Singingi, dan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kandungan emas dan batu bara di Rantau Singingi memang sangat banyak dan merekapun sangat berambisi untuk segera menguasai wilayah Rantau Singingi. 

Setelah mengetahui bahwasanya wilayah Rantau Singingi merupakan suatu wilayah yang berdiri sendiri secara pemerintahan adat dan terpisah dari kerajaan Gunung Sahilan,  akhirnya untuk memuluskan rencananya tersebut, Belanda pun menemui Datuk Nan Baduo yaitu Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro ke - 12 (Datuk Khalifah Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan selaku pimpinan pemerintahan adat Rantau Singingi pada saat itu dan mengajak berunding untuk memusyawarahkan pengelolaan kawasan Rantau Singingi terutama emas dan batu bara. Tetapi perundingan untuk pengelolaan pertambangan tersebut terkendala oleh : Pengakuan Jamtoen Besar Sultan Abdul Djalil dari Kerajaan Gunung Sahilan, yang mana pada tahun 1899 Jamtoen Besar Sultan Abdul Djalil menyatakan kepada pihak pemerintah Belanda bahwa seluruh wilayah Rantau Singingi (termasuk Luhak Logas) dan Ulu Teso adalah dibawah kekuasaan kerajaan Gunung Sahilan dan telah mengeluarkan konsesi penambangan pada tanggal 1 Desember 1899 untuk seluruh wilayah tersebut.

Terkendala oleh permasalahan tersebut, kemudian pada tanggal 27 Februari 1905 pihak Belanda memanggil dan mengumpulkan seluruh Datuk dan pemangku adat yang ada di wilayah Gunung Sahilan dan Dependesinya (Rantau Kampar Kiri dan Loehak Sibayang, Singingi, Logas dan Ulu Teso) berkumpul di Bengkalis untuk membuat, menyetujui dan menandatangani pernyataan (GOENOENG SAHILAN EN ONDERHOORIGHEDEN VERKLARING) yang berisi :
Pertama  : Bahwa daerah Gunung Sahilan adalah bagian dari Hindia Belanda dan oleh karena itu di bawah kekuasaan Belanda.
Kedua : Bahwa kita senantiasa akan setia kepada Yang Mulia Ratu Belanda dan kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai Perwakilan Tinggi.
Ketiga : Bahwa kita harus mematuhi dan mempertahankan semua pengaturan yang akan dimenangkan atas lansekap Gunung Sahilan oleh dan atas nama Pemerintah atau perwakilannya. Penduduk Pesisir Timur Sumatra, dan umumnya akan mengikuti semua pesanan yang diteruskan kepada kami oleh atau atas nama perwakilan-perwakilan tersebut.
Mereka para Datuk dan pemangku adat yang hadir untuk membuat, menyetujui dan menandatangai pernyataan tersebut adalah : 
•        Abdul Djalil Jamtoean Besar dan Abdul Rahman Jamtoen Muda dari Gunung Sahilan. 
•     Amad gelar Datuk Besar, Senen gelar Datuk Godang, Taajoet gelar Penghulu Muda dan Ma Seh gelar Paduka Sindo dari Gunung Sahilan.
•       Niko gelar Datuk Bijo dari Jawi-jawi.
•       Djalal gelar Datuk Sinjaya dari Bintuli.
•    Karong gelar Datuk Pengulu Besar dari Melinjan, Gombak gelar Datuk Singo, Talang gelar Datuk Majolelo, Tawar Gelar Datuk Mahajo dan Tangkar Gelar Datuk Godang dari Lipat Kain.
•        Gamak gelar Datuk Majo Indo dari Lubuk Cimpur. 
•        Soekhoe gelar Datuk Bandaro, Adam gelar Datuk Besar dan Batin gelar Datuk Sutan 
       Majolelo dari Kuntu. 
•        Ingas Gelar Datuk Molik dan Maalat Gelar Datuk Sati dari Padang Sawah. 
•        Hoekoem Gelar Datuk Sinyato dan Labu Gelar Datuk Dubalang Tagan dari Domo. 
•        Sudan gelar Datuk Bandaro dari Ujung Bukit. 
•    Dahim gelar Datuk Godang Djo Melawan dan Bakar perwakilan hukum Datuk Singo dari Tanjung Belit. 
•         Moenkin gelar Datuk Godang dari Sanggan. 
•         Hakim gelar Datuk Caniago dari Aur Kuning. 
•        Saptoe gelar Datuk Majo Besar dan Mahir perwakilan hukum Datuk Tan Majolelo 
       dari Ludai. 
•         Daki Perwakilan hukum Datuk Paduko Besar dari Koto Lamo. 
•    Djala gelar Datuk Majo Indo dan Ganti perwakilan hukum Datuk Marajo dari Pangkalan Kapas. 
•        Boekoe gelar Datuk Temenggung dan Pantan gelar Datuk Jelo Sutan dari Tanjung Pauh. 
•       Oesoef Perwakilan hukum dari Datuk Payung Putih dan Longgak gelar Datuk Maruhum dari Pulau Potai. 
•       Saluk Kalai gelar Datuk Bandaro Itam, Sutan Menanti gelar Datuk Temenggung dan Taib 
       gelar Datuk Bandaro Rajo dari Koto Baru.  
•       Gelar Datuk Bandaro Kayo dari Petai. 
•       Djaana gelar Datuk Jalo Sutan, Taib / H. Muthalib gelar Datuk Bandaro dari Muaralembu, 
•      Ma-Oesoep gelar Datuk Bandaro Kali, Rapah gelar Datuk Sinaro nan Putih, Nain gelar Datuk Sinyato, Moengkin gelar Datuk Besar,  dan Awal gelar Datuk Mangkuto Sinaro dari Muaralembu. 
•  Doeahab Gelar Datuk Tan Penghulu dan Iboen Gelar Datuk Bandaro dari Pangkalan Indarung. 
•       Ma Salih gelar Datuk Godang dan Kadik gelar Datuk Temenggung dari Logas.
•       Hadjat gelar Datuk Jurum dari Parit Jawo Tanah Darat. 
•       Bonang Gelar Datuk Mohammad dari Pangkalan Beringin (Ulu Teso), 
•    Toendo Gelar Datuk Bandaro Mudo dan Taali gelar Datuk Bandara (yang sebelumnya dari Kuntu) dari Langung (Batang Galawan).

Penandatanganan pernyataan tersebut dilakukan di Bengkalis pada tanggal 27 Februari 1905, dihadapan perwakilan pihak Belanda yaitu VAN VELTHUYSEN selaku Asisten Residen Bengkalis dan I. L. BRIEN selaku Pengendali untuk wilayah Kampar Kiri.
Setelah beberapa saat terlaksananya penandatanganan pernyataan (GOENOENG SAHILAN EN ONDERHOORIGHEDEN VERKLARING) ini akhirnya Datuk Nan Baduo yaitu Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (Datuk Khalifah Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan selaku pimpinan pemerintahan adat Rantau Singingi menyadari bahwasanya secara administrasi wilayah Rantau Singingi masih berada dibawah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan, dan oleh karena itu kemudian mereka menyampaikan dan mengajukan kepada pihak Belanda supaya mengakui wilayah Rantau Singingi merupakan wilayah yang terpisah dari kerajaan Gunung Sahilan baik secara pemerintahan maupun secara administrasi.
Dan sesuai dengan  Undang-Undang Pemerintah Belanda bahwasanya Bentang alam yang berada di bawah Undang-Undang Pemerintah Belanda tanggal 5 Mei 1906, sub-divisi sementara Kampar Kiri dari departemen Bengkalis di daerah pantai Timur Sumatra, adalah terdiri dari :
1.      Gunung Sahilan (Rantau Kampar Kiri dan Loehak Sibayang).
2.      Singingi.
3.      Logas.
4.      Ulu Tesso. 
Dan menjelaskan bahwa Pimpinan adat diwilayah Singingi, Logas dan Ulu Tesso tidak dapat dianggap sebagai pelayan dari Jamtoean Besar di Gunung Sahilan, tetapi adalah sebagai pimpinan yang berdiri sendiri untuk wilayahnya masing-masing.

Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Belanda ini jugalah kemudian pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325 akhirnya Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan kembali dipanggil pemerintah Belanda untuk menghadap Asisten Residen Bengkalis dan membuat serta menandatangani pernyataan (SINGINGI VERKLARING) yang berisi : 
Pertama  :  Bahwa lansekap Singingi merupakan bagian dari Hindia Belanda dan karena itu berdiri di bawah dominasi Belanda, bahwa kita akan selalu setia kepada Yang Mulia Ratu Belanda dan kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal sebagai Perwakilan Tinggi yang  ditangannya kami terima pengelolaan lanskap Singingi.
Kedua :  Bahwa kita tidak akan melakukan kontak dengan kekuatan asing dalam hubungan politik apapun, musuh-musuh Belanda adalah musuh-musuh kita, teman-teman dari Belanda juga teman-teman kita.
Ketiga  : Bahwa kita akan mematuhi dan menegakkan semua peraturan yang telah atau akan dinyatakan berlaku atau berlaku untuk lansekap Singingi atau atas nama Ratu Belanda atau Gubernur Jenderal Hindia Belanda atau wakilnya dan bahwa kita secara umum akan mengikuti semua perintah yang diberikan oleh dan atas nama Gubernur-Jenderal atau wakilnya.
Penandatanganan pernyataan tersebut dilakukan di Bengkalis pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325 dihadapan Pemerintah Belanda yaitu  H. F. Hesselaar selaku Asisten Residen Bengkalis.
Dan pada tahun 1906 Jamtoen Besar Sultan Abdul Djalil dari Kerajaan Gunung Sahilan pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah, dan posisinya kemudian digantikan sementara oleh adiknya yaitu Dipertuan Muda Sultan Abdulrachman. Dan pada tanggal 29 Mei 1907 itu juga, yaitu tidak lama berselang setelah penandatanganan SINGINGI VERKLARING atas desakan dari DATUK NAN BADUO Rantau Singingi dan pemerintah Belanda akhirnya Dipertuan Muda Sultan Abdulrachman mengeluarkan sebuah pernyataan singkat yang membuat geger seluruh masyarakat Gunung Sahilan. Pernyataan tersebut adalah pengakuan terhadap SINGINGI VERKLARING yaitu pengakuan terhadap kekuasaan DATUK NAN BADUO Rantau Singingi Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan, disamping itu juga pengakuan terhadap Urang Godang Luhak Logas yaitu Oesin Gelar Datuk Godang dan pimpinan di Ulu Tesso yaitu Si Ampang Gelar Datuk Raja Roehoem. 
Untuk mendukung dan menguatkan pernyataan (SINGINGI VERKLARING) ini kemudian pada hari Senin tanggal 22 Juli 1907, bertepatan dengan tanggal 11 Jumadil Akhir 1325, pemerintah Belanda melalui J. G. Larive selaku inspektur Kampar Kiri, mengundang seluruh Datuk/Penghulu atau Pemangku Adat yang ada di wilayah Rantau Singingi hadir ke Gunung Sahilan untuk didengarkan pendapat dan pernyataannya (PROSES VERBAL) tentang SINGINGI VERKLARING yang ditandatangani oleh Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan di Bengkalis pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325. Mereka yang diundang dan menghadiri PROSES VERBAL tersebut adalah :
1.   Ma-Oesoep – Datuk Bandaro Kali, Nain – Datuk Sinyato, Mungkin – Datuk Besar, Rapah – Datuk Sinaro Nan Putih, Kamidin – Datuk Tan Majo Garang, Si’ap – Datuk Simajo Lelo, Awal – Datuk Mangkuto Sinaro (Penghulu dari Negeri Muaralembu).
2.  Djoenoe – Datuk Sutan Penghulu, Iboen – Datuk Bandaro, Batah –  Datuk Sinyato, Badoe Salam – Datuk Lelo Mangkuto, Djaana – Datuk Rajo Melayu (Penghulu dari Negeri Pangkalan Indarung).
3.   Ma-ahim – Datuk Sati, Dihim – Datuk Bandaro Kayo, Haroem – Datuk Bandaro Mudo, Ma-arim – Datuk Senego (Penghulu dari Negeri Petai).
4.    Sama – Datuk Bandaro Hitam, Soetan Menanti – Datuk Temenggung, Medan – Datuk Bandaro Rajo, Anggoeng – Datuk Sinyato, Mengantar – Datuk Bandaro Sutan (Penghulu dari Negeri koro Baru).
5.    Dani – Datuk Payung Putih, Longgak – Datuk Maruhum, Tjongar – Datuk Melintang Kampar, Intan Silih – Datuk Laksamano (Penghulu dari Negeri Pulau Potai).
6.   Bakoe – Datuk Temenggung, Doeanni – Datuk Jelo Sutan, Sa-Ilah – Datuk Bandaro, Tikat – Datuk Bandaro Sati, Djohan – Datuk Putih, Ma-Imam – Datuk Putih (Penghulu dari Negeri Tanjung Pauh).
Dan Semua Datuk/Penghulu atau Pemangku Adat yang hadir tersebut menyampaikan bahwa mereka telah mengetahui dan memahaminya dan  menyatakan setuju dengan SINGINGI VERKLARING yang ditandatangani oleh Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan di Bengkalis pada tanggal 29 Mei 1907 bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1325 tersebut.

Kemudian pada tanggal 11 Juli 1909 pemerintah Belanda menyetujui, meratifikasi, mengakui dan mengesahkan sebanyak 18 deklarasi dan salah satunya adalah SINGINGI VERKLARING, dan terhitung semenjak disetujuinya penyataan tersebut pihak Belanda juga mengangkat Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan sebagai zelfbestuurder (yang berarti pemerintahan sendiri dan bukan bupati tetapi memiliki aturan yang nyata seperti sultan) untuk wilayah Rantau Singingi, dan pihak Belanda hanya bertugas untuk mengontrol pertahanan dan kontak dengan asing.
Dan Dalam Keputusan Pemerintah Belanda yang sama, juga dijelaskan bahwa wilayah Ulu Tesso dipisahkan dari pembagian sementara Kampar Kiri dalam kaitannya dengan kepentingan bersama dengan Tanah Darat (Kuantan) dan bergabung dengan subdivisi sementara Kuantan dari departemen Indragiri .
Setelah disetujuinya SINGINGI VERKLARING kemudian pihak pemerintah Belanda kembali melanjutkan perundingan tentang pengelolaan penambangan emas dan batu bara dengan DATUK NAN BADUO yaitu Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) dan DJANA gelar Datuk Jalo Sutan yang juga merupakan sebagai zelfbestuurder di Rantau Singingi. Dan dalam perundingan tersebut disepakati bahwa pengelolaan penambangan emas sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat Rantau singingi dibawah kendali DATUK NAN BADUO selaku zelfbestuurder dan pihak Belanda hanya bertugas untuk mengontrol keamanan, pertahanan dan kontak dengan pihak asing, dan atas jasanya tersebut pihak Belanda berhak menerima 10 % sebagai Belasting atau pajak (Pancung Alas) dari hasil penambangan tersebut. Belasting atau pajak (Pancung Alas) tersebut dipungut oleh masing-masing penghulu atau orang godang disetiap Koto, Luhak dan Negeri yang kemudian dikumpulkan kepada Datuk Nan Baduo, dan Datuk Nan Baduo selanjutnya menyerahkan kepada Pihak Belanda.
Dan untuk diketahui, bahwasanya Muhammad Taib (Muthalib) gelar Datuk Bandaro 12 (DATUK KHALIFAH Ke 10) adalah satu dari dua Orang Godang Datuk Nan Baduo Rantau Singingi, beliau tercatat memerintah Rantau Singingi dari tahun 1876 – 1917. Kemudian Sejak tanggal 9 Agustus 1914 hingga tahun 1917 beliau hanya memimpin Rantau Singingi dengan seorang diri (karena kosongnya jabatan Datuk Jalo Sutan). Tahun 1917 turun tahta karena sakit dan sudah sangat tua. Meninggal dunia di Muaralembu - Singingi pada tanggal 24 Desember 1918. 
Kemudian digantikan oleh Muhammad Sirih gelar Datuk Bandaro 13 (DATUK KHALIFAH Ke 11). Memerintah Rantau Singingi dari tahun 1917 – 1947, (tetapi pihak Belanda baru mengakui kepemimpinannya pada tanggal 2 Desember 1918). 
Di Singingi ada 2 Datuk yang dibedakan atas Raja Adat dari Pagaruyung dan Rajo Ibadat dari semenanjung Malaya, serta dibantu oleh 7 Datuk sehingga jumlahnya menjadi 9 Datuk yang disebut dengan Datuk Yang Sembilan.
Rantau  Singingi, berjalan secara otonom dan masyarakatnya mengalami kondisi kesejahteraan relatif sangat baik.
Kerajaan Singingi adalah kerajaan islam  Singingi yang beribu Kota di Muaralembu (tanah Kojaan). Kerajaan ini dibentuk yaitu atas persetujuan petinggi kerajaan yang ada di daerah Gunung Sahilan. Kerajaan Singingi awalnya di perintah oleh seorang Ratu yang bernama ” Ratu Dipertuan Gadis” kerajaan Singingi ini mempunyai kekuasaan wilayah sebanyak 9 (Sembilan) nagori(negeri);
1. Desa Tanjung Pauh
2. Desa Sungai paku
3. Desa Koto baru
4. Desa Petai
5. Desa Kebun lado
6. Desa Muaralembu
7. Desa Pulau Padang
8. Desa Pangkalan Indarung, dan
9. Desa Logas.
Karena kerajaan Singingi berdiri di Desa Muaralembu, sehingga Desa Muaralembu dijadikan Induk dari 9 (Sembilan) desa tersebut. Pada tahun 1923 Kerajaan Gunung Sahilan mempercayai seorang Putra Daerah Muaralembu untuk dijadikan Raja untuk Kerajaan Singingi yaitu Muhammad Siri. 

Moh. Sirih adalah seorang putra daerah yang dilahirkan pada tahun 1884 memiliki darah melayu yang diberikan tanggung jawab menjadi seorang pemimpin kerajaan untuk mensejahterakan rakyatya.
Moh. Sirih dikenal sebagai raja yang berhati bersih, bertanggung jawab dan tegas. Masyarakat lebih mengenal beliau dengan sebutan Datuk Bandaro, semua masyarakat hormat karena keteladanannya bahkan penjajah yang ada pada masa itu hormat pada beliau.
Belanda yangmemerintah pada saat itu memberikan sebuah gelar kehormatan untuk beliau, mereka menyebutnya “ZELFBESTUUR VAN SINGINGI “ tidak hanya itu pemerintah Jepang yang ada di Singingi juga memberikan gelar kehormatan yang pada masa itu disebut “Sonco”. Pada masa pemerintahan beliau setiap orang yang yang menyalahi aturan dan bertentangan dengan norma-norma akan diberikan hukuman sesuai dengan aturan, untuk yang melakukan tindakan yang diluar batas akan diserahkan ke Gunung Sahilan untuk diberikan hukuman, dengan begitu masyarakat akan saling menjaga kerukunan dalam hidup bermasyarakat.

Pada tanggal 14 Februari 1919 beliau menandatangani kontrak dengan pemerintah Belanda mewakili pribumi dari Sumatra Timur - divisi Bengkalis.  Pada tahun 1920  (dalam Surat Kabar De Sumatra Post, 12 Februari 1920) Beliau juga atas nama zelfbestuurder dari Singingi bersama Tengku Soeloeng zelfbestuurder dari Kampar Kiri beserta Wan Abdul Rachman Bupati Pekanbaru menyambut kedatangan Gubernur Jendral Hindia Belanda di bandara Pekanbaru. 
Dihimpun dari berbagai Sumber Primer dan Sekunder

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA LAMBANG MINANGKABAU

BATAS ALAM MINANGKABAU

RANGKIANG NAN SAMBILAN